Ayah,
Aku ingin berkirim surat kepadamu. Menanyakan apakah Allah telah memberikan tempat yang indah untukmu, Al-Jannah yang telah dijanjikan bagi hamba-Nya yang sabar dan Ikhlas,
Mereka (orang-orang yang sabar) itulah yang akan dibalas dengan martabat yang tinggi (dalam al-jannah) dikarenakan kesabaran mereka, dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya. (Al Furqaan : 75)
Tahukah ayah, Kepergian ayah dua tahun lalu sungguh telah membuat aku seperti kehilangan sandaran hidup. Kehilangan jiwa dan rasa. Aku belum bisa membalas apa-apa atas kesabaran, keikhlasan dan cinta Ayah. Engkau telah menjalani kodrat hidup yang keras dan serba kekurangan tetapi tidak pernah sekalipun menunjukkan keluh pada anak-anakmu atas beban berat itu.
Aku masih ingat ayah,
Bagaimana ayah memutuskan menjual kusi ruang tamu kayu jati berbusa merah dan almari kayu tempat menyimpan baju-baju ayah sendiri. Ayah jual semua itu untuk biaya pendaftaran ulang kuliahku di Jember. Aku mengerti, ayah tidak menginginkan anak-anaknya perpendidikan rendah seperti ayah yang hanya lulusan SR (Sekolah Rakyat). Walaupun ayah tahu, bahwa aku hanya seorang perempuan. Ayah berbeda dengan pemikiran kebanyak orang di kampung, bahwa perempuan diciptakan hanya untuk dapur, sumur dan kasur.
Ayah juga tidak mengeluh menyisihkan uang makan harian ayah untukku. Aku sangat bersyukur menerima uang 60.000 setiap bulan dari ayah. Uang yang disembunyikan dalam lipatan kertas karbon hitam bersama sepucuk surat yang berisi khabar keluarga. Bukan melalui transfer ATM atau wesel pos kala itu.
Ayah tidak malu hutang sana-sini untuk menutup biaya lain-lain selama kuliahku. Entah berapa banyak hutang tersebut. Ayah berkeras bahwa itu sudah menjadi kewajiban sebagai orang tua. Walaupun itu harus terjadi. Ayah selalu cerita tentang keikhlasan hidup. Ayah selalu bilang bahwa Allah yang akan memudahkan jalan dan membayarnya kelak dengan cara yang indah.
Ayah,
Aku melihat betapa ayah bangga, ketika ayah menghadiri wisudaku dulu. Dengan berpakaian batik dan berpeci hitam, ayah bersemangat mendampingi penerimaan tanda kelulusanku. Ayahlah yang pertama menujukkan kepada warga kampung bahwa anak perempuan juga punya hak yang sama dengan anak laki-laki untuk mengenyam pendidikan tinggi. Tidak hanya sebatas lulus SMA lalu dikawinkan.
Aku ingin berkirim surat kepadamu, Ayah.
Menceritakan kembali bagaimana ayah menghadiahi aku kompor gas, lemari es, dan tempat tidur ketika aku memutuskan mengikuti suami untuk kontrak rumah agar dekat dengan tempat kerja. Aku tidak ingin memberatkan ayah. Tetapi ayah berkeras agar aku menerima itu.
Lima bulan kemudian aku baru mengetahui, bahwa ternyata barang-barang itu ayah beli dengan cara kredit dan harus membayar bulanan beserta bunganya. Ya Allah, sampai segitukan ayah berkorban untukku. Sampai aku bersuami pun cinta ayah tidak terhenti. Tanpa bermaksud menyinggung perasaan ayah, dengan seijin suami akhirnya aku mengambil alih pembayaran kredit barang-barang itu hingga lunas.
Ayah,
Aku ingin berkirim surat untukmu. Menanyakan kembali, apakah Allah telah menepati janji mewujudkan amal ibadah dan pengorbanan ayah menjadi teman-teman cahaya yang menerangi ayah hingga hari penghisaban nanti.
Datanglah seorang laki-laki tampan yang berpakaian bagus dan berbau harum. Ia berkata, “Berbahagialah dengan segala yang membahagiakan Anda. Ini adalah hari kebahagiaan Anda yang telah Allah janjikan.” Orang beriman tersebut bertanya, “Siapakah engkau? Wajahmu tampan sekali.” Ia menjawab, “Aku adalah amal saleh Anda.”
Ayah,
Aku ingin berkirim surat untukmu. Aku sertakan foto kenangan bersamamu. Foto lama yang aku temukan disela-sela buku harianku. Foto kita bersama Ibu dan adek sedang duduk dikursi yang engkau jual untukku itu.
ijinkan aku menebus cinta kasih dan pengorbananmu dulu. Aku kirimkan fadhilah Al-Fatehah dalam sujud dan setiap helaan napasku. Aku juga berjanji akan mengisahkan kembali cinta dan pengorbanan itu kepada cucu-cucumu, bahwa cinta telah menginspirasi seorang ayah melakukan apapun untuk anak dan keluarganya.
Ayah,
Aku menangis karena rindu dan berharap berkumpul bersama ayah bila Allah memanggilku kelak.